As of 18 August 2010, you must register to edit pages on Rodovid (except Rodovid Engine). |
3. Syekh Sayyid Faqqih Ibrahim / Sunan Cipager
From Rodovid EN
Lineage | Azmatkhan |
Sex | Male |
Full name (at birth) | 3. Syekh Sayyid Faqqih Ibrahim / Sunan Cipager |
Parents
♀ Nyi Raden Ayu Bahta (Putri Dalem Sacaparana bin Wiradadaha 3) [Wiradadaha] ♂ 5. Syekh Abdul Muhyi [Brawijaya V] b. 1650 |
Events
child birth: ♂ Wargakusumah [Majalengka]
marriage: ♀ 5. Ratu Putri (Putri Sunan Wanaperih, Talaga) [Talaga] b. calculated 1571
Notes
HUBUNGAN DENGAN SUNAN WANAPERIH
Sunan Wanaperih atau Pangeran Salingsingan atau Raden Aria kikis merupakan putra sulung dari Prabu Pucuk Umum dari Ratu Sunyalarang (putri Sunan Parung, saudara sebapak Ratu Pucuk Umun suami Pangeran Santri) dan menjadi Raja di Kerajaan Talaga Manggung pada tahun 1553-1556 Masehi, Prabu Pucuk Umum atau Raden Rangga Mantri yang merupakan cicit Raja Pajajaran Prabu Siliwangi atau Sri Baduga Maharaja. Sunan Wanaperih mendirikan pesantren tertua di Majalengka serta memindahkan Ibukota Kerajaan Talaga, dari Sangiang ke Wanaperih yang termasuk wilayah Desa Kagok saat ini.
Setelah Ratu Sunyalarang meninggal dunia, Arya Kikis atau Sunan Wanaperih mendirikan pesantren dan mendatangkan guru mengaji Syekh Sayyid Faqih Ibrahim yang merupakan putra Syekh Abdul Muhyi dari Pamijahan Tasikmalaya dikenal dengan Sunan Cipager makamnya berjarak 1 kilometer dari sini atau
Masa-masa pemerintahan Sunan Wanaperih diwarnai dengan perkembangan Islam yang pesat. Pada masa kepemimpinannya seluruh rakyat di Talaga Manggung telah menganut agama Islam dan agama Islam semakin berkembang karena Sunan Wanaperih berputra 6 orang yaitu Dalem Cageur, Dalem Kulanata, Apun Surawijaya, Ratu Radeya, Ratu Putri dan Dalem Wangsa Goparana, keturunannya turut menyebarkan Islam bahkan sampai ke luar wilayah Majalengka.
Ratu Radeya menikah dengan Arya Saringsingan, sedangkan Ratu Putri menikah dengan anak Syekh Abdul Muhyi dari Pamijahan Tasik yaitu Syekh Sayyid Faqqih Ibrahim yang dikenal sebagai Sunan Cipager dan mereka menjadi penyebar Islam disamping putranya Dalem Wangsa Goparana yang pindah ke Sagala Herang Cianjur dan keturunannya menjadi trah Bupati Cianjur seperti Bupati Wiratanudatar I (Dalem Cikundul) dan seterusnya.
Pada tahun 1550 M. Pada generasi kedua masa pemerintahan Islam Talaga, sepeninggal Ratu Parung (Ratu Sunyalarang), Talaga dipimpin oleh Raden Aria Kikis (Sunan Wanaperih) putera kedua Ratu Parung (Ratu Sunyalarang). Arya Kikis adalah seorang Senapati dan Da'i Islam yang handal. Dia mewarisi ketaatan yang tulus, ilmu-ilmu kanuragan dan ilmu-ilmu keislaman dari Sunan Gunung Djati. Salah satu cucu dia adalah Raja Muda Cianjur yang dikenal dengan Kanjeung Dalem Cikundul.
Hubungan Demak dan Cirebon
Diawali dangan ikut campurnya Demak untuk menarik upeti dari Talaga melalui Cirebon, sedangkan kondisi rakyat Kerajaan Talaga yang sangat memerlukan perhatian pemerintah (lagi susah), akhirnya permintaan Cirebon dan Demak untuk menarik upeti dari Talaga "ditolak". Selanjutnya, dengan tiba-tiba saja pasukan Cirebon yang dibantu Demak menyerang Talaga. Dengan demikian terjadilah peperangan hebat antara Pasukan Talaga yang dipimpin langsung oleh Senopati Aria Kikis melawan pasukan penyerobot dari Cirebon dan Demak. Di medan laga sekalipun prajurit-prajurit Kerajaan Talaga yang dibantu ketat oleh puragabaya serta pendekar-pendekar dari padepokan-padepokan dan pesantren-pesantren Islam itu jumlah pasukan dan senjatanya lebih kecil dibanding jumlah serta kekuatan para aggresor, akan tetapi pasukan Talaga dengan penuh semangat dan patriotisme tetap mengadakan perlawanan.
Dengan teriakan dan gaung Allahu Akbar, serentak pasukan Talaga dengan kecepatan dan kesigapan yang luar biasa menerjang lawannya dan terus menerus mengkikis habis para aggressor yang datang menyerang tanpa kesopanan dan tatakrama itu. Syukurlah bahwa akhirnya kekuatan para penyerobot itu dapat dilumpuhkan dan semua pasukan Cirebon dan Demak dapat diusir keluar dari wilayah Kerajaan Talaga
Kesepakatan Keraton Ciburang
Karena peristiwa itu Kanjeng Sinuhun Susuhunan Cirebon, Syarif Hidayatullah serta merta datang ke Talaga dan disambut secara khidmat dan hormat oleh Pangeran Satyapati Arya Kikis, Senapati Kerajaan Talaga, Sang Sunan Wanaperih; tidak urung dengan mendapatkan penghormatan besar dari para prajurit, puragabaya, para pendekar dan rakyat kerajaan Talaga serta Galuh Singacala. Sesuai dengan kesepakatan pada musyawarah di Keraton Ciburang yang diselenggarakan oleh para Raja dari Galuh beberapa waktu yang silam, yang menyatakan bila Kanjeng Waliyullah sendiri mengucapkan titahnya, mereka semua akan tumut kepada Kanjeng Sinuhun Cirebon, Syarif Hidayatullah.
Ternyata kesepakatan di Keraton Ciburang itu dengan takdir Allah terkabul juga. Pada saat itulah Kanjeng Sinuwun Sunan Gunung Jati Cirebon bersabda; Bahwa peperangan itu sungguh ditakdirkan Allah; tetapi bukan merupakan perang agama, sebab di Jawadwipa hanya pernah ada satu perang agama, yaitu antara Demak dan Majapahit. Terjadinya perang Talaga hanya karena tindakan keliru pasukan Cirebon dan Demak. Dalam riwayat lain berkata : “Perang dengan telaga berawal dari masalah sepele, yaitu perselisihan antara Demang Talaga dan Tumenggung ( Caruban ) Kertanegara akibat salah paham. Mereka berkelahi dan Demang Talaga terbunuh dalam perkelahian itu. Kematian Demang Talaga ternyata telah membuat marah Yang Dipertuan Talaga, Prabu Pucuk Umun, dan putera mahkota, Sunan Wanaperih (Pangeran Salingsingan / Raden Aria kikis) . Kabarnya, mereka dihasut oleh Rsi Bungsu, yang menuduh peristiwa tewasnya Demang talaga itu didalangi oleh yang Dipertuan Caruban. Lalu, pasukan Talaga disiapkan untuk menyerbu wilayah Caruban.”
Kemudian Sinuwun Cirebon mendamaikannya dan Sinuwun Syarif Hidayatullah mengizinkan kepada Pangeran Aria Kikis untuk beruzlah dan berkholwat (riyadhah dan mujahadah) di kampungnya yaitu di Leuweung Wana yang selanjutnya disebut Wanaperih, dengan hasrat untuk mendalami hakikat ajaran Agama Islam sedangkan kerajaan Talaga tetap berdiri secara mandiri, adapun kepemimpinannya diayomi oleh Kanjeng Waliyullah, Sunan Gunung Djati.
Sources
From grandparents to grandchildren
death: Pamijahan
marriage: ♀ Raden Ayu Gusik Kusuma
death: 17 October 1706, Pasuruan
title: 3 November 1975, Jakarta, Pahlawan Nasional Indonesia berdasarkan S.K. Presiden No. 106/TK/1975