As of 18 August 2010, you must register to edit pages on Rodovid (except Rodovid Engine).

2. Mas Roro Juwati / Raden Ayu Beruk / KRK Kadipaten / KRK Ageng / KRKTegalraya (Kanjeng Ratu Mas) b. estimated 1734 d. 17 October 1803

From Rodovid EN

Person:895241
Jump to: navigation, search
Lambang Kesultanan Bima
Lambang Kesultanan Bima
Lineage Mataram
Sex Female
Full name (at birth) 2. Mas Roro Juwati / Raden Ayu Beruk / KRK Kadipaten / KRK Ageng / KRKTegalraya
Other last names Kanjeng Ratu Mas
Other given names Roro Sulastri
Parents

Nyai Ageng Derpoyudo Roro Widuri ? (Abdul Kahir I) [?]

3. Kyai Ageng Derpoyudo [Mataram]

[1][2][3]

Events

estimated 1734 birth: Peter Carey (Kuasa Ramalan, 913)

marriage: Sri Sultan Hamengku Buwono I / Pangeran Haryo Mangkubumi (Raden Mas Sujono) [Amangkurat IV] b. 5 August 1717 d. 24 March 1792

7 March 1750 child birth: Yogyakarta, 4. Kanjeng Sri Sultan Hamengku Buwono II [Hb. 1.4] [Hamengku Buwono I] b. 7 March 1750 d. 3 January 1828

17 October 1803 death: Tegalrejo, Yogyakarta

Notes

Catatan Admin : Endang Suhendar alias Idang


Ratu Ageng Tegalrejo : Wanita Perkasa yang Tercuri dari Sejarah

Lukisan koleksi Snouck Hurgronje, yang tersimpan di Universitas Leiden dengan codex 7398. Lukisan ini menggambarkan aktivitas spiritual Diponegoro saat mengajari putranya, Pangeran Ali Basah, teks mistik Islam. Banthengwareng berada di tengah, dekat Diponegoro
Lukisan koleksi Snouck Hurgronje, yang tersimpan di Universitas Leiden dengan codex 7398. Lukisan ini menggambarkan aktivitas spiritual Diponegoro saat mengajari putranya, Pangeran Ali Basah, teks mistik Islam. Banthengwareng berada di tengah, dekat Diponegoro

Ratu Ageng nama yang mirip dengan nama pahlawan Nyai Ageng Serang tapi dua wanita ini adalah beda orang. Ratu Ageng atau seringkali disebut juga Ratu Ageng Tegalrejo ini bukanlah wanita baen-baen (sembarangan). Wanita pendidik yang lahir pada tahun 1735 ini adalah seorang permaisuri dari Sultan Hamengku Buwoni I, dan juga wanita yang melahirkan Sultan Hamengku Buwono II dan ia juga merupakan nenek buyut Ontowiryo.

Belum cukup hanya itu saja, ia juga merupakan seorang Panglima Bregada Langen Kesuma. Bregada Langen Kesuma ini semacam kesatuan pasukan elit khusus perempuan pengawal raja, seperti hanya Trisat Kenya di zaman Amangkurat I yang fenomenal karena kejamnya itu.

Meski personilnya semua dari kaum Hawa, jangan berpikir mereka ini lebay meminjam istilah anak muda jama sekarang. Bregada Langen Kesuma merupakan kesatuan khusus pengawal raja yang sangat tangguh. Meskipun semua anggotanya perempuan, namun pasukan berkuda ini dilengkapi dengan senjata api laras panjang dan pendek, pedang, keris, tombak, trisula, dwisula, dan lain sebagainya. Keterampilan mereka dalam olah senjata dan olah kanuragan jangan diragukan lagi. Misal sampeyan suit-suit mereka ini, salah – salah kena gibeng saja masih untung!

Anggapan diatas bukan hanya mitos atau legenda semata, setidaknya kehebatan Bregada Langen Kesuma ini diakui oleh Daendels saat berkunjung ke Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat pada bulan Juli 1809. Ceritanya, dalam acara penyambutan Daendels Bregada Langen Kesuma ini memperagakan salvo senapan dan meriam yang dipergilirkan dengan sempurna. Markas dari kesatuan istimewa ini berada di Pesanggrahan Madyaketawang. Lapangan latihan menembak bagi pasukan ini berada di alun-alun Pungkuran, di selatan kraton. Untuk lebih lanjut tentang Bregada Langen Kesuma ini di lain kesempatan kita akan membahasnya lebih jauh.

Bobot – bibit - bebet, saya yakin kata tersebut tidak asing indera dengar kita. Tiga kata dalam satu kesatuan tersebut adalah filosofi Jawa yang berkait erat mecari jodoh atau pasangan hidup. Lazimnya ini dipakai untuk memperoleh gambaran tentang kriteria calon pasangan hidup menurut pandangan orang Jawa.

Bukan karena tipikal pemilih atau mengkotak-kotakkan manusia. Berkenaan dengan pasangan hidup, orang Jawa terkesan sangat berhati-hati , meski tidak terlalu selektif dalam mencari siapa yang akan bersanding sebagai garwo (sigare nyowo) ing geghayu bahteraning urep (dalam mengarungi bahtera kehidupan) dalam kesetiaan sampai kiki nini koyo’ mimi lan mintuna.

Dalam pengertian umum, ada tiga perkara yang tidak akan terjangkau untuk diketahui manusia yakni, mati, jodoh, dan rejeki. Namun bagi masyarakat Jawa, setidaknya ada lima perkara yang mana manusia tidak dapat mengetahui dengan pasti akan nasib dalam perjalanan hidupnya ; siji pesthi (mati), loro jodho (jodoh), telu wahyu (anugerah), papat kodrat (nasib), dan lima bandha (rejeki).

Merujuk dari filosifi bobot – bibit – bebet di atas tak lain adalah, dalam hal memilih pasangan hidup yang ideal bagi masyarakat Jawa adalah salah satu bagian terpenting dalam perjalanan hidup ketika berumah tangga dan berketurunan. Sebab kesalahan memilih pasangan yang dinikahi dapat berdampak buruk pada kualitas hidup pribadi, anak, dan keluarga di masa depan. Bahkan ada pepatah mengatakan, “Malapetaka besar yang dialami oleh seseorang adalah ketika ia salah memilih siapa yang menjadi pasangan hidupnya”.

Dalam konteks Ratu Ageng ini, filosofi Jawa diatas semuanya komplit ada pada dirinya. Bagaimana tidak, selain yang sudah saya narasikan di atas jika ia adalah seorang permaisuri sekaligus dari rahimnya terlahir seorang Nata. Hal ini tidaklah mengherankan, karena Ratu Ageng ini adalah anak perempuan dari seorang kyai masyur pada jamannya, yakni Kyai Ageng Derpoyudho dari Majangjati, Sragen. Lumrah adanya selain karena kecerdasannyam Ratu Ageng ini terkenal karena alimnya.

Jika kita telisik lebih jauh lagi tentang silsilah Ratu Ageng ini, bisa jadi ada pengetahuan yang benar-benar baru dan baru kita ketahui. Kyai Ageng Depoyudho ini adalah putera dari Kyai Ageng Datuk Sulaiman atau sering disebut juga Kyai Sulaiman Bekel yang lahir sekitar tahun 1601, ia adalah anak tertua dari Sultan Abdul Kahir. Leluhur Ratu Ageng dapat dilacak dari sisi ibunya hingga ke Sultan Bima Pertama Abdul Kahir, Sumbawa, yang telah menghabiskan banyak waktu di Jawa untuk mendalami ilmu agama di pesantren-pesantren. Pada kesempatan lain kita akan membahasnya, biar lebih mudah untuk kita menguarainya.

Kasih sayang sang permaisuri yang tercurah terhadap cucu uyutnya ini bertolak belakang dengan anaknya sendiri, Raden Mas Sundoro. Bahkan bisa dikatakan hubungan ibu dan anak ini tidak akur. Lazimnya seorang ibu yang berharap anaknya berbudi pekerti yang baik, hal ini disalah pahami oleh Sundoro (kelak adalah HB II) yang dididik secara keras sesuai tuntunan agama. Tapi begitulan manusia, apapun latarbelakangnya, apakah dari trah bangsawan atau rakyat jelata selalu ada saja yang mbeling.

Karena hubungan ini pula yang mendasari keluarnya Ratu Ageng dari lingkungan keraton ketika suaminya, Hamengku Buwono I mangkat pada tahun 1792 yang kemudian tahtanya diwariskan pada anaknya Raden Mas Sujono ini. Ia lebih memilih tinggal di sebuah dusun kecil sejam perjalan kaki dari keraton, yakni Tegalrejo. Meskipun ia juga tahu jika Raden Mas Sujono pun sangat membenci Belanda. Tapi apa boleh buat, gaya hidup anak kesayangannya tersebut bahkan mengalahkan orang Belanda itu sendiri. Ontowiryo yang masih bocah pun diboyongnya dan hidup ditengah-tengah wong cilik, rakyatnya sendiri.

Bisa jadi, karena dibesarkan dalam lingkungan wong cilik atau rakyat kecil, maka dalam jiwa bocah Ontowiryo tumbuh rasa kepedulian yang sangat besar kepada orang-orang kecil. Apalagi dalam keseharian, Ontowiryo melihat dengan mata kepalanya sendiri betapa seorang Ratu Ageng, permaisuri seorang raja, tidak merasa rendah ketika harus bergaul dengan kawulo alit.

Pun, ketika bocah Ontowiryo tanpa canggung membantu nenek uyutnya yang seorang ibu suri ini tangannya belepotan lumpur demi menghidupinya. Bahkan, keteguhan Ratu Ageng yang tidak mau menerima bantuan keuangan dari keraton sangat tertanam kuat dalam alam pikir Ontowiryo yang terbawa hingga akhir hayatnya.

Sebagai wanita ningrat yang terbilang cerdas, hal ini sangat beralasan karena Ratu Ageng sangat gandrung pada literatur-literatur keagamaan, sejarah, dan juga sastra, sehingga rumahnya yang sederhana di Tegalrejo bagaikan sebuah perpustakaan kecil. Sebaliknya, terhadap harta benda, Ratu Ageng tidak begitu terobsesi. Bahkan, dalam satu riwayat mengatakan Ratu Ageng ini hanya memiliki barang-barang primer yang memang dibutuhkan dalam rumah tangga seperti kebanyakan orang.

Dalam pembentukan watak spiritual Ontowiryo, pola pengasuhan Ratu Ageng terhadap cucu uyutnya ini sangatlah keras. Sejak kecil Ontowiryo telah diajarkan mengenai keislaman dan adat istiadat Jawa tradisional. Hal yang sangat ditanamkan pada diri pangeran kecil mengenai nilai-nilai keagamaan dalam kehidupan.

Dari Ratu Ageng inilah menjadikan Ontowiryo tumbuh dalam lingkungan yang sarat dengan diskusi keagamaan. Selain itu wilayah Tegalrejo ketika itu pun sudah merupakan daerah yang kental dengan budaya pesantren. Hingga akhirnya pendidikan yang diterima oleh Diponegoro jauh lebih intensif dibandingkan anak-anak dari keluarga ningrat pada umumnya.

Tidak hanya itu banyak kitab-kitab yang dipelajari oleh Pangeran Diponegoro, diantaranya Kitab Tuhfah berisi ajaran sufisme, kitab-kitab ushul Fiqh, teks-teks Islam-Jawa yang berisi moral dan dasar-dasar sastra Jawa, beliau juga mempelajari syair-syair Jawa dan materi ketatatanegaraan serta kerajaan. Salah satu gurunya adalah Kyai Taptojani yang kelak dikemudian hari sebagai penasihat utama untuk urusan agama Diponegoro.

Berkat nenek buyutnya Diponegoro belajar banyak perihal disiplin diri, ketaatan beragama, dan kemampuan atau kepekaan untuk membaur dengan semua kelas masyarakat Jawa. Hidup di Tegalrejo juga mengajarkannya keuntungan yang diraih dari sikap menjaga diri dari lingkungan Keraton Yogyakarta, masuk ke dalam dunia batin sendiri secara intensif, menjadi seorang pecinta kesunyian dan nilai hidup bahwa kedamaian batin itu datang dari olah tapa dan refleksi diri dalam keheningan.

Nah, dipenghujung akhir tulisan ini, ada satu simpulan bahwa pengaruh Ratu Ageng inilah yang mempunyai andil besar dalam pembentukakan kepribadian Diponegoro. Pengalaman agama yang mendalam dan pengaruh yang kuat serta hubungan Ratu Ageng yang luas dengan komunitas-komunitas santri di Jawa Tengah secara tidak langsung memberikan satu kemudahan tersendiri bagi Diponegoro dalam usaha mewujudkan cita-citanya. Membebaskan orang Jawa dari intervensi dan kolonialisasi bangsa Belanda.

Meski dalam hal ini kita tidak mengesampingkan peran tidak langsung dari ibu kandung Diponegoro sendiri, Raden Ayu Mangkarawati yang merupakan selir Hamengku Buwono III yang tak lain adalah anak perempuan dari Kyai Prampelan yang kesohor tersebut. Pun halnya, sang nenek sendiri Ratu Kedhaton yang merupakan wanita sholehah.

Maka tidak berlebihan jika kita beranggapan di balik nama besar Diponegoro ada wanita hebat dibelakangnya, yakni Ratu Ageng atau dalam nama gadisnya Niken Ayu Yuwati ini. Wanita sholehah yang masih terbilang trah Ampel yang sekaligus cucu Sultan Bima di Sumbawa. Meski dalam lembaran sejarah tidak banyak disebutkan seolah tenggelam oleh cucu uyut kesayangannya tersebut. Maka, satu kesimpulan yang bisa jadi sangat provokatif, Ratu Ageng : Wanita Tangguh yang Tercuri dari Sejarah.

Perempuan Ini di Balik Nama Besar Pangeran Diponegoro

Nyai Ageng Tegalrejo adalah satu di antara beberapa tokoh pe rempuan di Jawa yang punya andil besar dalam sejarah negeri ini. Ia adalah pejuang sekaligus ulama dan nenek buyut dari pahla wan nasional Pangeran Dipone goro. Ia juga berada dibalik pembentukan karakter kepribadian Pangeran Diponegoro Nyai Ageng Tegalrejo yang lahir pada 1735 ini merupakan istri dari Sultan Hamengku Buwono I. Sosoknya dikisahkan sebagai perempuan pejuang. Ia mewarisi bakat militer dari tokoh ber kembangnya Islam di Bima, Sultan Abdul Qahir (Sultan Bima ke , (1621-1640). Dalam Pe rang Giyanti, Ia ikut mendam pingi suaminya bergerilya.

Nyai Ageng Tegalrejo merupakan anak dari Kiai Ageng Der poyudhi dari Majangjati, Sragen, kiai masyhur pada waktu itu. Kiai Ageng Derpoyudho sendiri ada lah putra dari Kiai Ageng Da tuk Sulaiman atau sering akrab disebut Kiai Sulaiman Bekel. Kealimannya juga tak lepas dari darah yang mengalir dari silsilah keturunannya.

Terkait kisah Nyai Ageng Te galrejo dalam kehidupan keluarga Keraton Ngayogyakarta, pada suatu waktu ia memilih keluar dari keraton setelah suaminya mangkat karena hubungan buruk dengan anaknya Sundoro (kelak HB II). Ia kemudian memilih ting gal di Tegalrejo, sebuah desa yang terletak di tenggara Keraton. Nyai Ageng Tegalrejo berani mening galkan Istana karena melihat anaknya yang dinilai mulai menyepelekan perintah agama. Di Tegalrejo, Nyai Ageng Tegalrejo giat bertani tanpa meninggalkankan ibadah.

Sebagai keturunan bangsawan Jawa, kehidupannya juga tidak bisa dilepaskan dari filosofi dan tradisi Jawa. Dalam sebuah artikel bertajuk "Ratu Ageng Tegalrejo: Wanita Perkasa yang Tercuri Sejarah" disebutkan bahwa Nyai Ageng Tegalrejo memegang filosofi Jawa dalam memilih pasangan hidup, yaitu mempertimbangan bebet, bibit, dan bobot.

Ia pernah menjadi komando Korp Prajurit Estri yang terdiri da ri para pendekar perempuan. Di bawah kepemimpinannya, Korp Prajurit Estri ini mengalami kemajuan. Bahkan beberapa ta hun menjelang Perang Jawa, korps ini membuat utusan negara dan Eropa terkagum-kagum dengan kemampuan para pendekar perempuan dalam menaiki kuda, melepaskan tembakan salvo dan ketepatan membidik.

Di samping itu, cucu dari Ki Ageng Sulaiman Bekel Jamus ini dikenal sebagai perempuan yang sangat mencintai ilmu pengetahuan. Kecintaannya terhadap ilmu pengetahuan ia tularkan kepada Pangeran Diponegoro sebagai orang yang diasuhnya. Karena itu, dalam beberapa sumber disebutkan Nyai Ageng Tegalrejo mempunyai peran besar dibalik nama besar Pangeran Diponegoro. Diponegoro kemudian menjadi sosok yang banyak mempelajari kitab-kitab fikih melalui para ulama yang sering diundang ber diskusi di Balairung, kediamannya di Tegalrejo.

Diponegoro mempelajari kitab Muharrar karya Imam ar- Fari'i dan Lubab al-Fiqh karya Al-Mahamili. Kitab Taqrib karya Abu Syuja al-Isfahani dan Fath al-Wahhab karya Imam Zakari yah al-Anshari merupakan favo rit bacaannya. Di tangan Nyai Ageng Tegalrejo, Pangeran Dipo negoro menjadi mahir membaca naskah berbahasa Jawa dan aksara pegon. Nyai Ageng Tegalrejo juga yang memperkenalkan Pangeran Diponegoro terhadap tradisi akademis Tarekat Syattari yah melalui kitab Tuhfat al-Mursalahila Ruhan-Nabi karya Syekh Muhammad bin Fadhlullah al-Burhanpuri.

Peran besar Nyai Ageng Te gal rejo sangat terasa pada diri Diponegoro. Itu terlihat ketika sosok pembimbingnya wafat pa da 17 Oktober 1803. Ia merasa ke hilangan pembimbing utama sejak usia remaja hingga dewasa. Kendati demikian, rasa kehilangannya tersebut tak membuat Diponegoro lemah. Ia menjadi lebih dekat dengan rakyat.

Sources

  1. http://www.akarasa.com/2017/01/ratu-ageng-tegalrejo-wanita-perkasa.html -
  2. https://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/18/01/20/p2t0k2396-perempuan-ini-di-balik-nama-besar-pangeran-diponegoro -
  3. https://historia.id/kuno/articles/si-bantheng-pengiring-diponegoro-yang-paling-setia-P7x4Q -

From grandparents to grandchildren

Grandparents
2. Sultan Abdul Khair Sirajuddin / Ruma Mantau Uma Jati / La Mbila / I Ambela
birth: April 1627, Sultan Bima II (1640 M)
death: 22 July 1682
1. Kyai Ageng Datuk Sulaiman / Kyai Suleman Bekel Jamus
birth: 1601, Bima (Tahun Saka)
birth: 1680, Bima (Masehi)
Ratu Kedathon
death: 1620
Grandparents
Parents
Nyai Ageng Derpoyudo Roro Widuri ? (Abdul Kahir I)
birth: Keturunan Ke 3 Sultan Bima
burial: Kuncen, Yokyakarta
3. Kyai Ageng Derpoyudo
burial: Majangjati, (Dukuh Majan, Kecamatan Kerjo, Karanganyar, Sragen)
Parents
 
== 3 ==
Pangeran Raden Prawirosentiko / Raden Ronggo Prawirodirjo I (Kyai Tumenggung Wirasantiko)
title: from 1755 - 1784, Bupati Madiun Ke 14, di Kranggan
death: 1784, Jakarta, Cemetery : dimakamkan di Pemakaman Taman
Sri Sultan Hamengku Buwono I / Pangeran Haryo Mangkubumi (Raden Mas Sujono)
birth: 5 August 1717, Kartasura
marriage: Bendoro Mas Ayu Asmorowati [G.Hb.1.7]
marriage: Gusti Kanjeng Ratu Kencono [G.Hb.1.1]
marriage: Bendoro Raden Ayu Tiarso [G.Hb.1.3] (Bendoro Raden Ayu Tilarso)
marriage: Bendoro Mas Ayu Sawerdi [G.Hb.1.4]
marriage: Bendoro Mas Ayu Mindoko [G.Hb.1.6]
marriage: Bendoro Raden Ayu Jumanten [G.Hb.1.8]
marriage: Bendoro Mas Ayu Wilopo [G.Hb.1.9]
marriage: Bendoro Mas Ayu Ratnawati [G.Hb.1.10]
marriage: Bendoro Mas Ayu Tandawati [G.Hb.1.12]
marriage: Bendoro Mas Ayu Tisnawati [G.Hb.1.13]
marriage: Bendoro Mas Ayu Turunsi [G.Hb.1.14]
marriage: Bandara Mas Ayu Ratna Puryawati [G.Hb.1.15]
marriage: Bendoro Radin Ayu Doyo Asmoro [G.Hb.1.16]
marriage: Bendoro Mas Ayu Gandasari [G.Hb.1.17]
marriage: Bendoro Raden Ayu Srenggono / [G.Hb.1.5] (Bendoro Raden Ayu Srenggorowati)
marriage: Bendoro Mas Ayu Karnokowati [G.Hb.1.18]
marriage: Bendoro Mas Ayu Setiowati [G.Hb.1.19]
marriage: Bendoro Mas Ayu Padmosari [G.Hb.1.20]
marriage: Bendoro Mas Ayu Sari [G.Hb.1.21]
marriage: Bendoro Mas Ayu Pakuwati [G.Hb.1.22]
marriage: Bendoro Mas Ayu Citrakusumo [G.Hb.1.23]
marriage:
marriage: 2. Mas Roro Juwati / Raden Ayu Beruk / KRK Kadipaten / KRK Ageng / KRKTegalraya (Kanjeng Ratu Mas)
marriage: 4. Bendoro Raden Ayu Handayahasmara / Mbak Mas Rara Ketul
marriage: Raden Ayu Wardiningsih
title: from 29 November 1730 - 13 February 1755, Kartasura, Pangeran Mangkubumi
marriage: Bendoro Mas Ayu Cindoko [G.Hb.1.11] , Yogyakarta
title: from 13 February 1755 - 24 March 1792, Yogyakarta
death: 24 March 1792, Imogiri, Yogyakarta
title: 10 November 2006, Jakarta, Pahlawan Nasional RI
== 3 ==
Children
Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Ario Paku Alam I [Hb.1.6] (Kanjeng Pangeran Haryo Notokusumo)
birth: 21 March 1760, Pangeran Notokusumo / Pangeran Adipati Paku Alam I (1813-1829) Pendiri wangsa Pakualaman yang lahir pada tahun 1760 ini adalah peletak dasar kebudayaan Jawa dalam Kadipaten Pakualaman. Kepada para putra sentana, PA I memberi pelajaran sains dan tata negara. Beberapa karya sastranya adalah: Kitab Kyai Sujarah Darma Sujayeng Resmi (syair), Serat Jati Pustaka (sastra suci), Serat Rama (etika), dan Serat Piwulang (etika). Ia wafat pada tanggal 19 Desember 1829.
birth: 21 March 1764, Yogyakarta
title: from 28 January 1812 - 31 December 1829, Gusti Pangeran Adipati Paku Alam I [1812-1829]
death: 31 December 1829, Yogyakarta
Kanjeng Pangeran Adipati Dipowijoyo I [Hb.1.8] (Pangeran Muhamad Abubakar)
birth: 1765
title: estimated 1810, Yogyakarta, Pangeran Muhamad Abubakar
Bendoro Pangeran Haryo Diposonto
birth: 1762
death: before 1820
Gusti Raden Mas Intu ? (Hamengkubuwono)
title: Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anum Amangku Negara ingkang Sudibya Atmarinaja Sudarma Mahanalendra
burial: August 1758, Yogyakarta, Yogyakarta Sultanate, Imogiri cemetery
Bendoro Pangeran Haryo Mangkukusumo
birth: 1772
occupation: January 1828, Wakil Dalem
Children
Grandchildren
Sri Sultan Hamengku Buwono III / Gusti Raden Mas Surojo
birth: 20 February 1769, Yogyakarta
marriage: Bendoro Raden Ayu Murtiningsih [Ga.Hb.3.21]
marriage: Bendoro Raden Ayu Hadiningdiah [Ga.Hb.3.22] / Bendoro Raden Ajeng Ratnadimurti
marriage: Bendoro Mas Ayu Mindarsih [Ga.Hb.3.9]
marriage: Gusti Kanjeng Ratu Kencono [Hb.1.?] / Gusti Kanjeng Ratu Hageng [Gp.Hb.3.1]
marriage: Bendoro Raden Ayu Mangkorowati [Ga.Hb.3.1]
marriage: Bendoro Raden Ayu Dewaningrum [Ga.Hb.3.10]
marriage: Bendoro Raden Ayu Lesmonowati [Ga.Hb.3.7]
marriage: Bendoro Raden Ayu Kusumodiningrum [Ga.Hb.3.6]
marriage: Bendoro Mas Ayu Mulyaningsih [Ga.Hb.3.18]
marriage: Bendoro Raden Ayu Puspitosari [Ga.Hb.3.17]
marriage: Bendoro Raden Ayu Mulyosari [Ga.Hb.3.16]
marriage: Bendoro Mas Ayu Puspitaningsih [Ga.Hb.3.15]
marriage: Bendoro Raden Ayu Puspitolangen [Ga.Hb.3.2]
marriage: Bendoro Raden Ayu Kalpikowati [Ga.Hb.3.3]
marriage: Bendoro Raden Ayu Surtikowati [Ga.Hb.3.4]
marriage: Bendoro Raden Ayu Panukmowati [Ga.Hb.3.5]
marriage: Bendoro Mas Ayu Medarsih [Ga.Hb.3.14]
marriage: Bendoro Raden Ayu Padmowati [Ga.Hb.3.13]
marriage: Bendoro Mas Ayu Wido [Ga.Hb.3.12]
marriage: Bendoro Raden Ayu Doyopurnomo [Ga.Hb.3.8]
marriage: Bendoro Raden Ayu Puspowati [Ga.Hb.3.11]
marriage: Gusti Kanjeng Ratu Hemas [Gp.Hb.3.1] ? (Prawirodirjo)
marriage: Gusti Kanjeng Ratu Wadhan [Gp.Hb.3.3]
marriage: Bendoro Mas Ayu Sasmitoningsih [Ga.Hb.3.19]
marriage: Bendoro Raden Ayu Renggoasmoro [Ga.Hb.3.20]
marriage: Bendoro Raden Ayu Hadiningsih [Ga.Hb.3.23]
title: 31 December 1808, Yogyakarta, Raja Putro Narendro Pangeran Adipati Anom Amangkunegoro (Pangeran Wali)
title: from 1810 - 28 December 1811, Yogyakarta
title: from 12 June 1812 - 3 November 1814, Yogyakarta, Ngarsodalem Sampeyandalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono III
death: 3 November 1814, Yogyakarta, Imogiri
1. Kanjeng Raden Tumenggung Sumadiningrat I
birth: estimated 1760
marriage:
marriage: Gusti Kanjeng Ratu Bendara [Hb.2.8]
burial: 20 June 1812, Pemakaman Jejeran, Wonokromo, Plered, Bantul, Yogyakarta, diatas jam 10 malam
death: 20 June 1812, Masjid Alun2 Selatan Kraton Yogyakarta, Geger Sepehi, Sabtu, 20 Juni 1812 Antara Jam 5-6 pagi
Raden Ronggo Prawiradirdja III
marriage: Gusti Kanjeng Ratu Maduretno Krama [Hb.2.21]
title: from 1799 - 17 December 1810, Bupati Madiun Ke 16 di : Maospati
death: 17 December 1810, Banyu Sumurup-Imogiri dipindahkan ke Giripurno-Gn Bancak-Magetan pada 1957
Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Paku Alam II [Pa.1.1] / Pangeran Suryaningrat (Raden Tumenggung Notodiningrat)
birth: 25 June 1786, Yogyakarta
marriage:
marriage: Muktionowati [Ga.Pa.2.1]
marriage: Resminingdiah [Ga.Pa.2.3]
marriage: Widowati [Ga.Pa.2.4]
marriage: Sariningdiah [Ga.Pa.2.2] ? (Gondhowiryo)
marriage: Gusti Kanjeng Ratu Ayu [Hb.2.37] Bendoro Raden Ayu Krama [Gp.Pa.2.1]
title: 1814, Yogyakarta, Pangeran Suryaningrat
title: 31 December 1829, Yogyakarta, Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Suryaningrat
title: from 4 January 1830 - 23 July 1858, Yogyakarta, Kanjeng Gusti Pangeran Adipati (KGPA) Paku Alam II
death: 23 July 1858, Yogyakarta
Bendoro Pangeran Haryo Dipowijoyo [Hb.2.44]
birth: 1794
marriage: 2. Bendoro Raden Ayu Nuryani / Bendoro Raden Ayu Abdu'l Arifin Hadiwijoyo
death: 30 July 1826, Nglengkong-Sleman, Termasuk dalam Daftar Panglima Perang Pangeran Diponegoro, (wafat pada 30 Juli 1826, dalam sebuah penyergapan Belanda didaerah Nglengkong-Sleman, Royal.Ark)
Kanjeng Pangeran Adipati Danurejo III / Pangeran Natadiningrat (Barep Hadiwanaryo / Raden Joyosentiko, Pangeran Joko Hadiyosodiningrat)
occupation: Mojokerto, Bupati Japan
marriage: Gusti Kanjeng Ratu Sasi [Hb.2.75]
occupation: from 2 December 1813 - 22 February 1847, Yogyakarta, Pepatih Dalem Kesultanan Yogyakarta bergelar Kanjeng Raden Adipati Danurejo III
death: 1849, Mojokerto
Grandchildren
Personal tools
In other languages