As of 18 August 2010, you must register to edit pages on Rodovid (except Rodovid Engine). |
4. Raden Mas Djonet Dipomenggolo b. 1815 d. 1837
From Rodovid EN
Lineage | Hamengku Buwono |
Sex | Male |
Full name (at birth) | 4. Raden Mas Djonet Dipomenggolo |
Parents
♂ Bendoro Pangeran Haryo Diponegoro [Hb.3.1] Bendoro Raden Mas Ontowirya [Antawirya] (Pangeran Ngabdulkamit) [Hamengku Buwono III] b. 11 November 1785 d. 8 January 1855 ♀ Bendoro Raden Ayu Ontowiryo / Raden Ayu Maduretno [Prawiradirja III] b. estimated 1798 d. 28 February 1827 |
Events
1815 birth: Solo
marriage: ♀ NYI MAS AYU Fatmah \ Bun Nioh [Tan] b. calculated 1817
calculated 1831 child birth: Bogor (Jabaru), ♂ RM. Ngabehi Dipomenggolo / KH. Safawi [Hamengku Buwono] b. calculated 1831 d. 1896
calculated 1832 child birth: Bogor (Jabaru), ♂ RM. Harjo Dipomenggolo [Hamengku Buwono] b. calculated 1832
calculated 1833 child birth: Bogor (Jabaru), ♂ RM. Harjo Dipotjokromenggolo [Hamengku Buwono] b. calculated 1833
calculated 1834 child birth: Bogor (Jabaru), ♂ RM. H. Harjo Abdul Manap Dipomenggolo [Hamengku Buwono] b. calculated 1834
calculated 1835 child birth: Bogor (Jabaru), ♂ RM. Sahid Angkrih [Hamengku Buwono] b. calculated 1835
calculated 1836 child birth: Bogor (Jabaru), ♀ NYI MAS RAy. Ukin [Hamengku Buwono] b. calculated 1836
calculated 1837 child birth: Bogor (Jabaru), ♀ Raden Ayu Okah / Nyi Mas Okah [Hamengku Buwono III] b. calculated 1837
1837 death: Yogyakarta, dimakamkan di Bogor (Versi 'Peter Carey')
1885 death: Bogor, dimakamkan di Bogor (Versi Keluarga)
Notes
Catatan Admin : Endang Suhendar alias Idang
RIWAYAT HIDUP
PANGERAN DJONET / RM. JUNAT / RM. JEMET
Ketika ayahnya menyatakan diri sebagai penentang penjajah dan terusir dari Puri Tegalrejo, Raden Mas Joned baru berumur sepuluh tahun. Dia ikut rombongan pengungsi bersama keluarga besarnya ke Goa Selarong setelah Puri Tegalrejo digempur oleh pasukan Belanda. Dia sudah bisa merasakan bagaimana susahnya hidup dalam pengungsian dan hanya tinggal di dalam Goa bersama ibu dan saudara-saudaranya. Usianya masih terhitung anak-anak ketika dia lari mengikuti rombongan para penghuni Puri Tegalrejo dan para penghuni kampung sekitar puri. Terkadang sebuah tangan kokoh menyambarnya dan meletakkannya dalam gendongan sambil berlari mendorong gerobak dimana ibu dan bibinya menumpang menyatu dengan perbekalan seadanya. Orang itu tak lain adalah Sentot Prawiro Dirjo pamannya sendiri. Umur Raden Mas Joned sekitar 15 tahun ketika melihat ayahnya ditangkap oleh Belanda. Dia menyaksikan sendiri bagaimana ayahnya tetap tegar menghadapi semuanya. Raden Mas Joned tidak kuasa menitikkan air mata ketika melihat ayahnya digiring dimasukkan ke dalam kereta yang membawanya ke pengasingan. Marah dan dendam, itulah yang ada di dalam benak Raden Mas Joned. Jiwa mudanya sangat terguncang dan itulah yang membuat Raden Mas Joned selalu melakukan perlawanan dimanapun dia melihat orang Belanda. Raden Mas Joned berusaha membebaskan ayahnya dengan cara mengejar ke Ungaran, lalu ke Semarang. Dia berhasil menyusup ke dalam kapal pembawa Pangeran Diponegoro tetapi ketahuan dan Raden Mas Joned menceburkan diri ke laut. Dia tidak putus asa karenanya. Raden Mas joned lalu mengejar Pangeran Diponegoro melalui darat bersama beberapa orang pengikutnya menuju Batavia. Sesampainya di Batavia, Pangeran Joned berusaha mendekati tempat penyekapan Pangeran Diponegoro, tetapi sayang, mata-mata mengatakan bahwa Pangeran Diponegoro telah dipindahkan menggunakan kapal ke arah Timur. Dengan perbekalan seadanya disertai dengan pengikut-pengikut setianya, Raden Mas Joned berangkat ke arah Timur melewati jalan darat sambil menebarkan petaka bagi siapapun yang mencoba menghalanginya. Raden Mas Djonet, mengakhiri hidupnya dengan cara yang tidak menguntungkan dalam perselisihan dengan seorang perwira di Djokjakarta. (J. Hageman, 1856, "Geschiedenis van den oorlog op Java, van 1825 tot 1830"). Atas kehendak keluarga, jenasah beliau disembunyikan dan dimakamkan di Bogor. Ibu Raden Mas Joned yaitu Raden Ayu Maduretno adalah kakak Sentot Prawirodirjo yang ikut bergabung dalam barisan Pangeran Diponegoro. Ketika Pangeran Diponegoro diangkat menjadi sultan di Dekso, Raden Ayu Maduretno diangkat menjadi permaisuri. Pada tahun 1828 beliau wafat karena sakit dan dimakamkan di Imogiri.
PANGERAN DJONET DIPOMENGGOLO / RM. JUNAT / RM. JEMET
PANGERAN DJONET atau Raden Mas Djonet Dipomenggolo, adalah putera pertama Pangeran Diponegoro yang lahir pada tahun 1815 1) di Yogyakarta dari Ibu kandung yang bernama R.A. Maduretno alias R.A. Ontowiryo alias R.A. Diponegoro yakni isteri kelima Pangeran Diponegoro putri ketiga Raden Rangga Prawiradirjo III dengan Kanjeng Ratu Kedaton Maduretno Krama (putri HB II), jadi saudara seayah dengan Sentot Prawirodirjo, tetapi lain ibu. Pangeran Djonet memiliki adik kandung bernama Pangeran Roub/Pangeran Raab/Pangeran Raib, yang pada tahun 1840 berhasil dibuang Belanda ke Ambon dan meninggal disana. Ketika Pangeran Diponegoro dinobatkan sebagai Sultan Abdulhamid, RA. Maduretno diangkat sebagai permaisuri bergelar Kanjeng Ratu Kedaton l pada 18 Pebruari 1828 (walaupun saat itu Belanda berikut Kerajaan yang lain tidak mengakuinya). Pada saat itu Raden Mas Djonet Dipomenggolo masih berumur 13 tahun.
SILSILAH KELUARGA (Dari Pancer Bapak)
0. KANJENG SUNAN PRABU AMANGKURAT AGUNG 1. KANJENG SUSUHUNAN PAKUBUANA I 2. KANJENG PRABU AMANGKURAT IV 3. KANJENG SULTAN HAMENGKU BUWANA KAPING I ING NGAYOGYAKARTA 4. KANJENG SULTAN HAMENGKU BUWANA KAPING II ING NGAYOGYAKARTA 5. KANJENG SULTAN HAMENGKU BUWANA KAPING III ING NGAYOGYAKARTA 6. BPH. DIPANEGARA 7. RM. DJONET DIPAMENGGALA - Tercatat Di Tepas Darah Dalem -
SILSILAH KELUARGA (Dari Pancer Ibu)
0. KANJENG SUNAN PRABU AMANGKURAT AGUNG 1. KANJENG SUSUHUNAN PAKUBUANA I 2. KANJENG PRABU AMANGKURAT IV 3. KANJENG SULTAN HAMENGKU BUWANA KAPING I ING NGAYOGYAKARTA 4. KANJENG SULTAN HAMENGKU BUWANA KAPING II ING NGAYOGYAKARTA 5. KRK. MADURETNO KRAMA (Putri ke 22 HB-II <menikah dengan> RADEN RANGGA PRAWIRADIRDJA III 6. BRAy. MADURETNO/RA. Ontowiryo/RA. Diponegoro 7. RM. DJONET DIPAMENGGALA - Tercatat Di Tepas Darah Dalem -
PANGERAN DJONET PADA MASA PERJUANGAN PANGERAN DIPONEGORO (Tahun 1825-1830)
Sejak usia 10 tahun Pangeran Djonet bersama 2 saudaranya yaitu Pangeran Roub dan Pangeran Diponegoro Anom selalu mendampingi/selalu diajak ayahnya dalam setiap perundingan penting dengan Belanda. Mengingat usianya yang relatif muda tidak banyak yang dilakukan Pangeran Djonet muda, akan tetapi selama 5 tahun Pangeran Djonet berada, melihat dan menyaksikan langsung (veni, vedi veci) sejarah yang sedang terjadi di tanah air melalui perjuangan orang tuanya yaitu Pangeran Diponegoro beserta panglima Sentot Prawiradirja dan Pangeran-pangeran juga para Kyai. Di medan perang Pangeran Djoned menyaksikan bagaimana prajuritnya terbunuh...bagaimana mendapatkan kemenangan...bagaimana mengatur siasat perang, semua ini merupakan pengalaman dan pembelajaran yang berharga bagi pembentukan kepribadian Pangeran Djoned kemudian.
Belanda mengerahkan seluruh kekuatannya. Pemberontakan Paderi di Sumatera Barat, untuk sementara dibiarkan. Sekitar 200 benteng telah dibangun untuk mengurangi mobilitas pasukan Diponegoro. Perlahan langkah tersebut membawa hasil. Dua orang panglima penting Diponegoro tertangkap. Kyai Mojo tertangkap di Klaten pada 5 Nopember 1828. Sentot Alibasyah, dalam posisi terkepung, menyerah di Yogya Selatan pada 24 Oktober 1829.
Diponegoro lalu menyetujui tawaran damai Belanda. Tanggal 28 Maret 1830, Diponegoro disertai lima orang lainnya ( Raden Mas Jonet, Diponegoro Anom, Raden Basah Martonegoro, Raden Mas Roub dan Kyai Badaruddin) datang ke kantor Residen Kedu di Magelang untuk berunding dengan Jenderal De Kock. Mereka disambut dengan upacara militer Belanda. Dalam perundingan itu, Diponegoro menuntut agar mendapat "kebebasan untuk mendirikan negara sendiri yang merdeka bersendikan agama Islam." De Kock melaksanakan tipu muslihatnya. Sesaat setelah perundingan itu, Diponegoro dan pengikutnya dibawa ke Semarang dan terus ke Betawi. Pada 3 Mei 1830, ia diasingkan ke Manado, dan kemudian dipindahkan lagi ke Ujungpandang (tahun 1834) sampai meninggal. Di tahanannya, di Benteng Ujungpandang, Diponegoro menulis "Babad Diponegoro" sebanyak 4 jilid dengan tebal 1357 halaman.
PANGERAN DJONET PADA SAAT PENGASINGAN AYAHNYA KE SULAWESI (Tahun 1830)
Menurut cerita salah satu keturunan ke 6 Pangeran Djonet yang tinggal di sekitar makam yaitu R. Ustad ABDUL WAFA (keturunan dari Raden Mas SAHID ANKRIH, anak ke 5 Pangeran Djonet) adalah sebagai berikut : Sewaktu beliau dibuang ke Makassar, beliau ikut namun sewaktu Kapal/Perahu di lautan beliau menceburkan diri bersama pengikutnya melarikan diri ke Batavia. Setelah beberapa lama menetap di Batavia, lalu beliau pindah ke Bogor, berjuang bersama pasukannya yang akhirnya menetap di Kebon Kelapa Cibeureum sampai akhir hayatnya.” (sesuai yang tertera dalam Papan Wisata Ziarah dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Bogor).
SITUS MAKAM PANGERAN DJONET DIPOMENGGOLO
Cerita lain, versi keturunan yang tinggal di sekitar makam : “ Pangeran Djonet tinggal dan menetap pertama kali di pinggiran kota Bogor (± 4 s.d 7 km dari Istana Belanda) di kampung Jabaru (Jawa Baru), setelah mempunyai 5 orang putra dan 2 orang putri semakin banyaklah keturunan Pangeran Djonet di kampong Jabaru tersebut, akhirnya membuka kampong baru lagi dengan nama kampong Dukuh Jawa, sampai akhirnya wafat pada usia 70 tahunan dan dimakamkan di kampong Kebon Kelapa (sekarang Jalan Raden Kosasih), Cikaret, Bogor Selatan tidak jauh dari kampong tempat beliau menetap ”.
PANGERAN DJONET DI BATAVIA (Tahun 1830-1831)
Setelah lolos dari proses pengasingan ke Pulau Sulawesi sesuai cerita sebelumnya, Pangeran Djonet muda yang baru berusia 15 tahun (1815-1830) dibantu pengikutnya yang berjumlah lebih dari 1 orang untuk mencari tempat persembunyian sementara di daerah Batavia. Sebagai kelompok asing yang berkeliaran di Batavia yang notabene sebagai pusat kegiatan colonial pada masa itu tentunya baik Pangeran Djonet maupun pengikutnya yang asli Yogyakarta mencari sanak saudara, kerabat maupun tetangga yang sedaerah. Akhirnya dengan wawasan sejarah yang dimiliki sang Pangeran Muda diputuskan untuk mencari daerah Matraman (saat itu umur daerah Matraman sudah mencapai 208 tahun sejak penyerbuan Kerajaan Mataram ke Batavia).
Di Matraman, pengikut Pangeran Djonet terlebih dahulu mencari tokoh-tokoh setempat yang dianggap mengetahui asal-usul Matraman dan akhirnya memperkenalkan diri kepada mereka tentang keberadaan Pangeran Mataram (tidak menyebutkan nama/menggunakan nama alias) dan menceriterakan secara umum kondisi kejadian saat itu. Diluar perkiraan sang Pangeran, mereka menerima dengan amat terbuka sambil disertai perasaan haru, bangga dan rindu akan kampong halaman akhirnya berkat bantuan dan perlindungan masyarakat Matraman pada saat itu Pangeran Djonet beserta pengikutnya menetap di Batavia (Matraman) lebih kurang selama 2 tahun.
Selama menetap di Matraman dalam rangka mempertahankan diri dari kejaran tentara Belanda, Pangeran Djonet membentuk pasukan (semacam pengawal Raja) dengan merekrut pemuda-pemuda yang mayoritas keturunan prajurit Kerajaan Mataram walaupun ada juga dari etnis lain yang juga bergabung dengan suka rela (di komplek pemakaman Pangeran Djonet di Bogor dimakamkan juga komandan pasukan pengawal yang berasal dari Banten). Komunikasi keberadaan Pangeran Djonet di Batavia dengan pihak Keraton Yogyakarta (lebih kurang 19 orang Pangeran/turunan Sultan yang mendukung Pangeran Diponegoro) dilakukan melalui media kurir/mata-mata/telik sandi yang masing-masing bergerak menuju titik yang ditentukan (rendesvouz), dari Keratonlah Pangeran Djonet mendapatkan bantuan logistik yang diperlukan dalam membentuk pasukan pengawal.
Tahun 1832 Pangeran Djonet genap berusia 17 tahun, usia yang cukup dewasa bagi seorang keturunan Sultan untuk segera memulai hidup berumah tangga. Maka pada tahun 1832 Pangeran Djonet mempersunting Putri Kapitein keturunan Tionghoa dari Marga Tan yang bernama BUN NIOH kemudian berganti nama menjadi NYI MAS AYU FATMAH (tidak ada literature yang menyebutkan dimana proses pertemuannya). Kalau mengacu kepada usia Nabi Muhammad SAW menikah, usia tersebut masih terlalu muda, akan tetapi karena kondisi saat itu sedang dalam proses bersembunyi ataupun penyamaran (incognito) ditambah lagi kebiasan Raja-raja Kasultanan Yogyakarta anak lelaki tertua menikah pada saat usia menginjak dewasa. Setelah berumah tangga Pangeran Djonet pindah ke pinggiran Kota Bogor, akan tetapi komunikasi dengan masyarakat Matraman tetap terjalin dengan sangat baik, dan sering mengahdiri acara-acara keagamaan yang diadakan di Masjid Jami Mataram.
Berdirinya Masjid Jami Matraman memang tak lepas dari aktivitas bekas pasukan Sultan Agung Mataram yang menetap di Batavia. Nama wilayah Matraman pun disinyalir karena dahulunya merupakan tempat perkumpulan bekas pasukan Mataram. Untuk menjalankan aktivitas keagamaan bekas pasukan Mataram mendirikan sebuah Masjid di kawasan tersebut. Masjid yang didirikan pada tahun 1837 diberi nama Masjid Jami Mataram yang artinya Masjid yang digunakan para abdi dalem Keraton Mataram. Selain itu, pemberian nama tersebut dimaksudkan untuk menandakan bahwa masjid itu didirikan oleh para bekas pasukan Mataram. Keaslian Masjid Jami Matraman masih terlihat dari bagian depan gedung masjid yang belum pernah direnovasi. Pada jaman dahulu masjid itu merupakan masjid paling bagus di kawasan tersebut, dengan perpaduan gaya arsitektur masjid dari Timur Tengah dan India. Jika dilihat dari depan akan nampak bangunan seperti benteng dan pada dinding tembok mimbarnya dipenuhi dengan tulisan kaligrafi serta terlihat pula bentuk kubah bundar. Pada tahun 1837, masjid itu diresmikan oleh Pangeran Jonet (ahli waris Pangeran Diponegoro).
PANGERAN DJONET DI BOGOR (Tahun 1832 - 1885)
Tempat Tinggal Di Bogor
Pangeran Djonet pindah dari pelariannya di Batavia ke daerah pinggiran kota Bogor sekitar tahun 1832. Bersama pengikutnya keturunan bekas tentara kerajaan Mataram di Batavia (Daerah Matraman – Jakarta Timur), Pangeran Djonet membuka perkampungan baru yang akhirnya dikenal dengan nama Kampung JABARU, kependekan dari Jawa Baru.
Sarana transportasi darat yang umum pada masa itu kebanyakan menggunakan Kuda tunggang, kereta kuda, sepeda, sedikit kereta api dan mobil. Pangeran Djonet seperti halnya bangsawan di Keraton Yogyakarta tentunya sangat terlatih menggunakan kuda tunggang, oleh karenanya di sekitar kampong Jabaru, disuatu tempat yang bernama "Pasir Kuda" (Pasir, nama lain dari Bukit) Pangeran Djonet dan para pengikutnya biasa menambatkan kuda-kudanya (kemungkinan besar, dipasir inilah dibangun Istal).
Melihat cerita di atas, dan mempelajari Silsilah yang ada serta mencermati keberadaan RM. Djonet pada masa perjuangan Pangeran Diponegoro setelah saya lakukan analisis dengan seksama dengan mengacu kepada artikel dan buku-buku diperoleh berbagai macam kemungkinan sebagai berikut :
- RM. Djonet adalah putra sulung dari pasangan Pangeran Diponegoro dengan RA. Maduretno yang lahir pada tahun 1815 M. Ketika Diponegoro berusia 42 tahun, beliau dinobatkan sebagai Sultan Abdulhamid, RA. Maduretno diangkat sebagai permaisuri bergelar Kanjeng Ratu Kedaton l pada tanggal 18 Pebruari 1828, pada saat itu RM. Djonet berumur 13 tahun.
- Sejarah Pangeran Djonet menurut cerita kutipan dari buku karangan Peter Carey menyebutkan bahwa Pangeran Djonet dibunuh oleh Belanda dalam sebuah peperangan pada tahun 1837. Cerita tersebut dapat beralasan :
- Dalam artikel : “Jejak Sultan Agung Mataram di Masjid Jami Matraman” disebutkan bahwa Masjid Jami Mataram dibangun dan diresmikan pada tahun 1837 oleh Pangeran Jonet (ahli waris Pangeran Diponegoro). Pada tahun 1837 Masjid Jami tersebut tergolong bangunan mewah arsitktur bangunannya menyerupai Taj Mahal, sehingga menjadi pusat perhatian Belanda. Informasi peresmian Masjid tersebut oleh keturunan langsung Pangeran Diponegoro sampai melalui mata-mata Belanda yang pada akhirnya Belanda melakukan penyergapan (kemungkinan dikediaman Pangeran Djonet di kampung Jabaru (Jawa Baru), di daerah Selatan Bogor. Dalam penyergapan tersebut akhirnya terjadi peperangan antara tentara Belanda dengan Pangeran Djonet dan pengikutnya. Di lain pihak, pada tahun yang sama 1837 Pangeran Djonet sudah berumah tangga dan mempunyai anak 7 ( 5 laki -laki dan 2 perempuan ).
- Mungkin saja data yang diperoleh Peter Carey sumbernya berasal dari pihak Belanda atau referensi lain yang ada di Inggris, dimana baik Belanda maupun Inggris membukukan sejarah pemberontakan Pangeran Diponegoro dan pengikutnya lebih mengutamakan keberhasilannya semata, sehingga Pangeran Diponegoro dan keluarganya berikut pengikutnya dianggap “BAD GUY” yang sudah dan harus dikalahkan (dibunuh) sedangkan pihak Belanda maupun Inggris sebagai “GOOD GUY” yang patut mendapatkan penghargaan.
- Pangeran Djonet menetap di Batavia mulai tahun 1830, pada saat beliau berumur 15 tahun.Kalau mengacu kepada cerita versi “makam” (di Cikaret, Bogor), Pangeran Djonet termasuk dalam kelompok yang akan dibuang ke Makassar yang akhirnya dapat melarikan diri dan menetap di Batavia. Dimana pangeran Djonet tinggal di Batavia?, sampai tahun berapa tinggal di Batavia?, kapan pindah ke Bogor? Tahun berapa menikah?, Siapa isterinya? Berapa orang istrinya? Berapa orang putra-putrinya? dimana tinggalnya di Bogor? Jawabannya adalah :
- Di Batavia pangeran Djonet tinggal di perkampungan mantan prajurit Mataram (Sultan Agung Mataram menyerang VOC ke Batavia pada April 1628 - Mei 1629). Pada tahun 1837 perkampungan tersebut sudah berubah nama menjadi kampung MATRAMAN karena sudah berusia 218 tahun. Di Matraman inilah Pangeran Djonet menetap dan mendapatkan perlindungan dari keterunan tentara Mataram, sampai usia beliau mencapai 17-22 tahun.
- Pangeran Djonet pindah ke Bogor antara tahun 1832-1837, dimana pada usia tersebutlah menikah dengan puteri Kapitein keturunan Tionghoa dari Marga TAN yang bernama BOEN NIOH kemudin bermualaf dengan nama NYI MAS AYU FATMAH. Mengenai jumlah isterinya dapat diperkirakan sebagai berikut : apabila mengacu kepada buku Peter Carey pangeran Djonet terbunuh pada saat usia perkawinan 5 tahun (1837) dengan jumlah putra-putri 7 orang, berarti pangeran Djonet beristri minimal 2 orang, sedangkan kalau mengacu versi makam, Pangeran Djonet meninggal di usia 70 tahunan meninggalkan 2 orang isteri, 7 orang anak.
- Di Bogor Pangeran Djonet tinggal di pinggiran Kota ± 5 km dari Istana Belanda. Disana beliau dibantu para pengikutnya keturunan Mataram yang ada di Batavia membuka perkampungan baru yang pada akhirnya dikenal dengan sebutan Kampung JABARU kepanjangan dari Kampung Jawa Baru. Di kampung Jabaru inilah pangeran Djonet membentuk pasukan dan beranak-pinak. Kuda-kuda pangeran Djonet dan pasukannya ditambatkan di Istal Kuda didaerah pasir (bukit) yang pada akhirnya daerah tersebut dikenal dengan nama Kampung Pasir Kuda (kampung diatas bukit yang banyak Kuda). Dari Kampung Jabaru keturunan Pangeran Djonet meluas dan membuka perkampungan baru di sebelah Timurnya yang juga dikenal dengan nama Kampung Dukuh Jawa.
- Menurut kesaksian keturunan Pangeran Djonet generasi ke 5 Rd.Hj. SITI MARIAM (IIH) & Rd.Hj. SITI JUARIAH (UWE), pada saat ayahnya RM.H. RANA MENGGALA (generasi 4) meninggal sekitar tahun 1970an, ada prajurit utusan Kraton Yogyakarta membawa peti berukir yang berisi antara lain uang. Pada saat itu keturunan Pangeran Djonet sampai generasi ke 5 belum banyak yang mengetahui asal-usul yang mengarah kepada Pangeran Diponegoro. Hal ini dapat diartikan bahwa, pihak Kraton Yogyakarta mengetahui keberadaan Pangeran Djonet di Bogor dan ada kemungkinan sebetulnya pada saat Pangeran Djonet tinggal pertama di Bogor pun sudah ada komunikasi rahasia antara telik sandi kraton Yogyakarta dengan pasukan Pangeran Djonet di Bogor (mengapa masih rahasia, mengingat di kalangan kerabat Pangeran Diponegoro di Yogyakarta pada saat itu disinyalir masih banyak yang pro-kolonial). Sejauh ini diantara keturunan 7 anak Pangeran Djonet, sampai dengan generasi kelima (lahir 1930an-1950an) silsilah keluarga yang lebih rinci tentang keturunan Pangeran Djonet masih memerlukan verifikasi dan penyempurnaan,
wallahu alam bi sawab.
SILSILAH KELUARGA BESAR KETURUNAN RM. DJONET DIPAMENGGALA
Putra-putri
No. | Nama | Tempat/Lahir |
---|---|---|
1. | RM. NGABEHI DIPAMENGGALA | Jabaru, C-1833 |
2. | RM. HARJO DIPOMENGGOLO | Jabaru, C-1834 |
3. | RM. HARJO DIPOTJOKRO / PANGERAN GRINGSING I | Jabaru, C-1835 |
4. | RM. HARJO ABDUL MANAP | Jabaru, C-1836 |
5. | RM. KH. SAHID ANGKRIH | Jabaru, C-1835 |
6. | NYI MAS RAy. UKIN | Jabaru, C-1836 |
7. | NYI MAS RAy. OKAH | Jabaru, C-1837 |
Cucu
- 1.1. RM.KH. USMAN BAKHSAN (Lebak pasar, C-1854)
- 2.1. RM.H. BRODJOMENGGOLO
- 2.2. RAy.Hj. GONDOMIRAH
- 2.3. RM.H. ABAS
- 2.4. RM.H. ABDULRACHMAN ADIMENGGOLO
- 2.5. RM.H. MUHAMMAD HASAN
- 3.1. RM. HARJO DIPOTJOKRO HADIMENGGOLO / P.GRINGSING II
- 4.1. RM.H. EDOJ
- 4.2. RM.H. SAYYID YUDOMENGGOLO
- 4.3. NYI RAy.Hj. SARODJA
- 4.4. NYI RAy.Hj. AMANUNG
- 5.1. RM. ASMINI
- 5.2. RM. IDRIS
- 5.3. RM. ONDUNG
Buyut / Cicit
- 1.1.1. RM.H. RANA MENGGALA (Lebakpasar, C-1877)
- 1.1.2. RM.H. ABDULGHANI MENGGALA (Lebakpasar, C-1878)
- 1.1.3. RM.H. MUHAMMAD HASYIR (C-1879)
- 1.1.4. RAy. Hj. Harisun (C-1880
- 1.1.5. RAy.Hj. ITI (Gg Wahir-Empang, C-1882
- 1.1.6. RM. Ahmad (Natsir), C-1884
- 2.1.1. RM.H. WONGSOMENGGOLO (Ciomas)
- 2.1.2. RM.H. SOEROMENGGOLO (Ciomas)
- 2.1.3. RM.H. ADIMENGGOLO (Ciomas)
- 2.1.4. RAy.Hj.UNAN (Loji)
- 2.2.1. RM.H. IBRAHIM\RM. ABD.ROCHMAN WIRADIMENGGOLO\RM. WIRADINEGARA
- 2.2.2. NYI RAy.Hj. ASMAYA
- 2.2.3. NYI RAy.Hj. ENTING AISYAH
- 2.2.4. NYI RAy.Hj. SITI FATIMAH
- 2.2.5. NYI RAy.Hj. ANTAMIRAH
- 2.2.6. RM. TJANDRANINGRAT\RM. ARIO MAD SURODHININGRAT (Zelfstandig Patih Buitenzorg 1916-1925)
- 2.2.7. RM. YAHYA GONDONINGRAT
- 2.2.8. RM. INDRIS TIRTODIRDJO/RM. IDRUS TIRTODIRDJO
- 2.2.9. NYI RAy.Hj. RAJAMIRAH/RAy.Hj. MIRAH
- 2.3.1. RM.H. ARDJA
- 2.3.2. RM.H. SUMINTA (MALIK)
- 2.3.3. RAy.Hj. PATIMAH <menikah dgn> DJUARSA (Ayahnya Mayjen. ISHAK DJUARSA)
- 2.3.4. RAy.Hj. FATMAH <menikah dgn> 1.1.1. RM.H. RANA MENGGALA Cucu RM. NGABEHI DIPOMENGGOLO
- 2.3.5. RM.H. YACUB
- 2.3.6. RAy.Hj. SITI MARIJAM (Loji)
- 2.4.1. RAy.Hj. SUKIYAMAH
- 3.1.1. RM. HARJO DIPOHADIKUSUMO / P. GRINGSING III
- 4.1.1. RM.H. SINTOMENGGOLO
- 4.2.1. RM.H. SADIRI GONDOMENGGOLO
- 4.3.1. RM.H. SUMAWIDJAJA
- 4.3.2. NYI RAy.Hj. DANANG
- 4.3.3. NYI RAy.Hj. ANOK
- 4.3.4. NYI RAy.Hj. ENGKO
- 4.3.5. NYI RAy.Hj. TOJO (Ibu Bandung)
- 5.1.1. RM.H. ASMININ
- 5.1.2. RM.H. MALI
- 5.1.3. RM.H. MINAU
- 5.1.4. RM.H. IKING
- 5.1.5. RAy.Hj. UMI
Canggah
- 1.1.1.1. R.H. RAIS
- 1.1.1.2. R.Hj. ECIN
- 1.1.1.3. R.Hj. HALIMAH
- 1.1.1.4. R.Hj. SITI KHODIJAH
- 1.1.1.5. R.Hj. SITI MUKMINAH
- 1.1.1.6. R.Hj. SITI JUARIAH (Uwa UWE, Sempur)
- 1.1.1.7. R.H. MAHBUB
- 1.1.1.8. R.Hj. SITI MAEMUNAH
- 1.1.1.9. R.Hj. SITI MARIAM (Ibu KARIM/Uwa IIH, Gg. Menteng)
- 1.1.1.10. R.IYAN RIDWAN
- 1.1.2.1. R.H. YASIN (C-1910
- 1.1.2.2. R.H. ALI
- 1.1.2.3. R.H. ABDUL MANAN (Adung)
- 1.1.2.4. R.Hj. SUPIAH (Siti)
- 1.1.2.5. R.Hj. ENCUNG
- 1.1.2.6. R.MASDIR. JAYAKUSUMAH (Jaya, C-1911)
- 1.1.2.7. R.MASDIR KARTANINGRAT (Tata)
- 1.1.2.8. R.MASDIR KURNAEN (Aeng)
- 1.1.2.9. R.MASDIR MOCHAMAD ARIEF
- 1.1.2.10. R.MASDIR SUMANTRI (Ati)
- 1.1.2.11. R.MASDIR EMAN SULAEMAN
- 1.1.3.1. R. BUSTOMI
- 1.1.3.2. R. ISMAIL
- 1.1.3.3. R. MUDJITABA
- 1.1.3.4. NYI R. SUAEBAH
- 1.1.3.5. NYI R. MAEMUNAH
- 1.1.4.1. R. ILYAS DAJIR
- 1.1.5.1. R. ILYAS DAJIR
- 1.1.5.2. R. ILYAS DAJIR
- 1.1.6.1. .............
- 1.1.6.2. R. SOLEH
- 1.1.6.3. R. SOFYAN ATS SAURI / YUSUF
- 1.1.6.4. R. ARIFIN
- 2.1.1.1. R.H. SOLEH SURODIMENGGOLO (Ciomas)
- 2.1.1.2. R.H. UMAR SURIODIRDJO (Ciomas)
- 2.1.1.3. R.H. MUSA SUMODIRDJO Ciomas)
- 2.1.1.4. R.H. EMBIH SASTRODIRDJO
- 2.1.2.1. R.H. ICAN SUROMENGGOLO (Ciomas)
- 2.1.2.2. NYI. R. AMOE (Ciomas)
- 2.1.2.3. R.H. ARJOMENGGOLO (Ciomas)
- 2.1.3.1. R.H. MOH. SYAFEI (Ciomas)
- 2.1.3.2. R.H. JAMSARI ADIMENGGOLO (Ciomas)
- 2.1.4.1. NYI Rd.Hj. ENUNG (Loji)
- 2.2.1.1. R.H. KURAESIN
- 2.2.1.2. R.H. ADJID MANGKUWIJAYA
- 2.2.1.3. R.H. MUH. ISA (Ciomas)
- 2.2.6.1. R.H. PANJI
- 2.2.6.2. R.H. PANDU
- 2.2.6.3. R.H. HASAN
- 2.2.6.4. R.H. KURAESIN
- 2.2.7.1. NYI Rd. Hj. RATNA KANCANA (Ciomas) <menikah dengan> Ir. H. MARAH ROESLI (Pujangga Nasional
- 2.2.8.1. R.H. ACO UMAR
- 2.2.9.1. Rd.H. YASIN WINATADIREDJA (Enceng)
- 2.2.9.2. NYI Rd.Hj. SITI RAHMAT (Titi)
- 2.2.9.3. Rd.H. TATANG MUCHTAR (Ciluar)
- 2.2.9.4. NYI Rd. ICHA AISYAH (Di Belanda sejak 1935)
- 2.3.6.1. Drs.H.R. MANSYUR
- 2.3.6.2. H.R. SANUSI (Gunung Batu)
- 2.3.6.3. Drs.H.R. ENTJEP WAHAB (Jakarta)
- 3.1.1.1. R. DR. HARTO PURWOWASONO DIPONEGORO / P. GRINGSING IV (Magetan)
- 4.1.1.1. NYI Rd. HJ. S. AISYAH
- 4.1.1.2. NYI Rd. HJ. INA
- 4.1.1.3. NYI Rd. HJ. SITI
- 4.1.1.4. Rd. H. MARANA
- 4.1.1.5. NYI Rd. HJ. ARISAH
- 4.1.1.6. Rd. H. BARNAS SINTOMENGGOLO
- 4.1.1.7. NYI Rd. HJ. UTI
- 4.1.1.8. NYI Rd. HJ. UTA
- 4.1.1.9. NYI Rd. HJ. HATIMAH
- 4.1.1.10.Rd. H. SIDIQ SINTOMENGGOLO
- 4.2.1.1. Rd. H. KARTA
- 4.2.1.2. NYI Rd. HJ. JUHA
- 4.2.1.3. Rd. H. DARMA
- 4.2.1.4. Rd. H. DARNA
- 4.3.1.1. R.H. ENTUNA PARTAWIJAYA
- 4.3.2.1. R.H. PRAWIRA SOMANTRI
- 5.1.1.1. R. ABDUL LATIF
- 5.1.1.2. R. ARMANI
- 5.1.1.3. NYI Rd. JENAB
- 5.1.1.4. R. MURNAS
- 5.1.1.5. R. ABDURROHIM
- 5.1.1.6. R. ABDURROHMAN
Sources
- ↑ http://bataviase.co.id/node/183595 -
- ↑ http://www.jejak-pangeran-diponegoro-bogor.blogspot.com/ -
- ↑ http://www.youtube.com/watch?v=UL9s71V6zMA -
- ↑ http://www.beritajakarta.com/2008/id/jpc_detail.asp?nNewsId=37993 -
- ↑ https://groups.yahoo.com/neo/groups/surau/conversations/topics/5801 -
- ↑ https://groups.yahoo.com/neo/groups/tionghoa-net/conversations/topics/85393 -
From grandparents to grandchildren
marriage: ♀ 2. Bendoro Raden Ayu Nuryani / Bendoro Raden Ayu Abdu'l Arifin Hadiwijoyo
death: 30 July 1826, Nglengkong-Sleman, Termasuk dalam Daftar Panglima Perang Pangeran Diponegoro, (wafat pada 30 Juli 1826, dalam sebuah penyergapan Belanda didaerah Nglengkong-Sleman, Royal.Ark)
marriage: ♂ Sri Sultan Hamengku Buwono III / Gusti Raden Mas Surojo
marriage: ♀ Gusti Kanjeng Ratu Kencono [Gp.Hb.4.1] / Gusti Kanjeng Ratu Agung (Gusti Kanjeng Ratu Hageng)
marriage: ♀ Bendoro Raden Ayu Dewaningrum [Ga.Hb.4.1]
marriage: ♀ Bendoro Raden Ayu Murcitaningrum [Ga.Hb.4.2]
marriage: ♀ Bendoro Raden Ayu Ratnadiningrum [Ga.Hb.4.3]
marriage: ♀ Bendoro Raden Ayu Turinsih [Ga.Hb.4.4]
marriage: ♀ Bendoro Raden Ayu Doyohasmoro [Ga.Hb.4.5]
marriage: ♀ Bendoro Raden Ayu Murtiningsih [Ga.Hb.3.21]
marriage: ♀ Gusti Kanjeng Ratu Ratnaningrum [Ga.Hb.4.7]
marriage: ♀ Bendoro Raden Ayu Widowati [Ga.Hb.4.8] ? (Jiwatenaya)
marriage: ♀ Bendoro Raden Ayu Murtiningrum [Ga.Hb.4.6]
marriage: ♀ Raden Ayu Retno Pringgo Asmoro [Hb.3.26.2.4] / [Ga.Hb.4.14]
title: from 10 November 1814 - 6 December 1822, Yogyakarta, Ngarsodalem Sampeyandalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono IV
marriage count: 12 May 1816
death: 6 December 1822
marriage: ♀ Raden Ayu Suryaningalogo II [Gp.Hb.3.2.2]
marriage: ♀ Raden Ayu Suryaningalogo [Gp.Hb.3.2.1]
marriage: ♀ Raden Ayu Dayaningsih [Ga.Hb.3.2.1]
marriage: ♀ Raden Ayu Purwaningsih [[Ga.Hb.3.2.2]
marriage: ♀ Raden Ayu Semitaningsih [Ga.Hb.3.2.3]
marriage: ♀ Raden Ayu Wuryaningsih [Ga.Hb.3.2.4]
title: about 1825, Bendoro Pangeran Haryo Suryengalogo
marriage: ♂ Kanjeng Raden Tumenggung Mangkuwijoyo
marriage: ♂ Kanjeng Pangeran Haryo Prabuningrat
marriage: ♂ Bendoro Pangeran Haryo Diponegoro [Hb.3.1] Bendoro Raden Mas Ontowirya [Antawirya] (Pangeran Ngabdulkamit) , Yogyakarta
marriage: ♂ Bendoro Pangeran Haryo Diponegoro [Hb.3.1] Bendoro Raden Mas Ontowirya [Antawirya] (Pangeran Ngabdulkamit)
death: 1885, Makasar
marriage: ♀ Raden Ayu Sentotprawirodirjo [Hb.3.2.12]
death: 17 April 1855, Bengkulu (city)