As of 18 August 2010, you must register to edit pages on Rodovid (except Rodovid Engine). |
Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Ario Paku Alam VII / Bendoro Raden Mas Aryo Surarjo b. 9 December 1882 d. 16 February 1937
From Rodovid EN
Lineage | Paku Alam VII |
Sex | Male |
Full name (at birth) | Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Ario Paku Alam VII / Bendoro Raden Mas Aryo Surarjo |
Other given names | Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Ario Prabu Suryodilogo |
Parents
♂ Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Ario Paku Alam VI / Kanjeng Gusti Pangeran Notokusumo [Pakualam V] b. 9 April 1856 d. 9 June 1902 | |
Wiki-page | wikipedia:Paku_Alam_VII |
Events
9 December 1882 birth: Yogyakarta
child birth: ♀ B. R. A. Koesbandinah (B. R. A. Soetardjo Kartoningprang) [Paku Alam VII]
child birth: ♀ B. R. A. Koespinah [Paku Alam VII]
child birth: ♀ B. R. A. Koesdarinah (B. R. A. Harjono Djoeroemartani) [Paku Alam VII]
child birth: ♀ B. R. A. Koesbinah (B. R. A. Soegoto Kartonegoro) [Paku Alam VII]
child birth: ♀ B. R. A. Soelastri (B. R. A. Soegirwo) [Paku Alam VII]
16 October 1906 title: Yogyakarta, Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Ario Prabu Suryodilogo
from 16 October 1906 - 16 February 1937 title: Yogyakarta, Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Ario Paku Alam VII
5 January 1909 marriage: Yogyakarta, ♀ Gusti Bendoro Raden Ayu Retno Puwoso [Pakubuwono]
10 April 1910 child birth: Yogyakarta, ♂ Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Ario Paku Alam VIII / Bendoro Raden Mas Haryo Sularso Kunto Suratno (Kanjeng Pangeran Haryo Prabu Suryodilogo) [Pakualaman] b. 10 April 1910 d. 11 September 1998
16 February 1937 death: Kulon Progo
18 February 1937 burial: Kulon Progo
Notes
BRMH Surarjo (lahir di Yogyakarta, 9 Desember 1882 – meninggal 16 Februari 1937 pada umur 54 tahun) adalah putra Paku Alam VI dari permaisuri. Ia ditinggal mangkat oleh ayahnya saat masih menyelesaikan studi di HBS Semarang. Sambil menunggu Surarjo menyelesaikan studi, Pemerintah Hindia Belanda mengangkat sebuah Raad van Beheer/Dewan Perwalian Pakualaman untuk menyelenggarakan pemerintahan Pakualaman sehari-hari. Akhirnya pada 16 Oktober 1906 ia diangkat oleh Pemerintah Hindia Belanda sebagai penguasa tahta Pakualaman dengan gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Ario Prabu Suryodilogo. Namun upacara resmi pentahtaan baru dilaksanakan pada 17 Desember tahun yang sama.
Setelah bertahta Prabu Suryodilogo, bekerjasama dengan Pemerintah Hindia Belanda, mengadakan beberapa pembaruan dibidang sosial dan agraria. Kemudian ia juga mereformasi bidang pemerintahan dengan mulai menerbitkan rijksblad (semacam lembaran Negara) untuk daerah Pakualaman. Pengertian yang konservatif secara berangsur digantikan dengan pikiran yang modern dan berpandangan luas. Pada 10 Oktober 1921 pengganti Paku Alam VI menggunakan gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Ario Paku Alam VII dan oleh Pemerintah Hindia Belanda diberi pangkat Kolonel tituler. Pembaruan tidak berhenti pada tahun itu tetapi terus berlanjut, terutama dalam penyempurnaan pengelolaan anggaran keuangan. Pemerintah desa pun tidak luput dari pembenahan dan reorganisasi. Status kewarganegaraan penduduk dipertegas dengan membedakan antara warga Negara (kawulo kerajaan/kadipaten) dan bukan warga Negara (kawulo gubermen).
Disamping pemerintahan perhatian Paku Alam VII juga tertuju pada kesenian. Pagelaran wayang orang berkembang dengan baik. Dalam kesempatan menerima tamu-tamu dari luar negeri ia acapkali menjamu mereka dengan wayang orang dan beksan (tari-tarian klasik). Dalam bidang pendidikan ia mengijinkan sekolah-sekolah berdiri di daerah Adikarto (bagian selatan Kabupaten Kulon Progo sekarang) serta mengadakan sebuah lembaga beasisiwa untuk menjamin kelanjutan studi bagi mampu melanjutkan studi ke jenjang lebih tinggi.
Pada 5 Januari 1909 Paku Alam VII menikah dengan GBRA Retno Puwoso, Putri dari Pakubuwono X, Sunan Surakarta. Seluruh putra-putrinya ada 7 orang. Ketika putra mahkota berkunjung ke Nederland untuk menghadiri pesta perkawinan Putri Mahkota Belanda Juliana dan Pangeran Bernard, Paku Alam mangkat. Ia meninggal pada 16 Februari 1937 dan dimakamkan pada 18 Februari tahun yang sama di Girigondo Adikarto (sekarang bagian selatan Kabupaten Kulon Progo).
From grandparents to grandchildren
death: 20 December 2011